Pahitnya Komedi Sepahit Kopi

Membaca dan mengedit buku ini merupakan pengalaman tak terlupakan. Ada bagian-bagian kisah yang membuat saya mau enggak mau tertawa membacanya, tapi lalu kisahnya membawa saya sampai membentur tembok. Kesal, marah, sedih, membaca ketidakadilan yang menimpa orang-orang, saudara-saudara kita di wilayah lain negeri ini. Enggak jauh-jauh dari Bandung, sebenarnya. Kebanyakan cerita-cerita dalam buku ini berlokasi di Jawa Barat. Tapi pengalaman yang diberikan dari membaca buku ini membuat saya merasa bersalah karena telah amat sangat beruntung. Dan dalam hati saya menangis, mendoakan mereka-mereka yang tersingkirkan (atau malah disingkirkan), yang mengalami perlakuan tidak adil dari pihak-pihak yang seharusnya mengayomi. 
Sini saya ceritakan sedikit:
“Kelompok nelayan perahu diberi bantuan perahu baru. Kelompok nelayan ban diberi bantuan kacamata menyelam. Pemerintah pintar ya,” demikian ujar Muldan nelayan ban di Taman Manalusu, Kabupaten Garut.
Muldan adalah salah seorang nelayan ban yang berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Karena tidak memiliki modal cukup namun asap dapur harus tetap mengepul, Muldan dan rekan-rekannya menggunakan ban dalam bekas truk yang sudah bolong-bolong lalu mereka tambal sedemikian rupa untuk digunakan pergi melaut. Hasil tangkapan tidak seberapa, nyawa menjadi taruhan.
Ketika mendengar pemerintah akan memberikan bantuan, Muldan dan rekan-rekan pun mengajukan diri untuk mendapatkan bantuan tersebut. Apa daya, mengharapkan perahu, yang didapat hanyalah kacamata menyelam. Pun tidak bisa disebut bantuan, karena ternyata "bantuan" yang mereka dapat harus dicicil sekian rupiah per bulannya. 
Ingin tertawa rasanya membaca pemerintah malah membagi-bagikan kacamata menyelam, tapi tawanya pasti tidak enak didengar. Dear pemerintah, pernahkah tebersit di benak kalian, apa sebenarnya yang dibutuhkan para nelayan itu?
Cuplikan di atas hanyalah satu bagian dari sepuluh reportase pilihan wartawan Pikiran Rakyat Zaky Yamani yang direkam dalam bentuk buku. Banyak kisah-kisah lain, misalnya tentang transmigran di tanah kerontang, para difabel yang sulit mendapatkan akses bahkan ada yang diusir ketika mengikuti ujian CPNS, dan kisah liputan tsunami Aceh. 
Saya punya sedikit asumsi, buku ini sepertinya merupakan ucapan selamat tinggal penulis pada kerja lapangan. Bekerja di HU Pikiran Rakyat sejak 2004, Zaky diangkat menjadi redaktur pada 2013,  membuatnya kesulitan mencari waktu untuk kembali turun ke lapangan. Cerita terakhir dalam buku ini merupakan liputan terbarunya (dan mudah-mudahan bukan liputan yang terakhir), yang memenangi penghargaan Anugerah Adiwarta tahun 2012. 
Buku ini juga buku ketiga Zaky Yamani yang saya edit. Buku pertama dari penerbitan yang kami dirikan, SvaTantra. Masih banyak kekurangan di sana-sini, tapi mudah-mudahan menjadi awal yang baik :)

Komentar

Postingan Populer